Kerupuk Melarat Khas Cirebon Di Goreng Dengan Pasir
August 23, 2024Tempat Camping Di Kuningan Pilihan Spot Camping Terbaik Di Kuningan
September 4, 2024Kenali Tradisi Muludan Masyarakat Cirebon
Muludan adalah sebuah tradisi unik yang berkembang di tengah masyarakat Cirebon. Taradisi ini dilakukan dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Biasanya tradisi ini dirayakan sepanjang bulan Rabiul Awal atau masyarakat Cirebon lebih mengenalnya dengan bulan Mulud.
Peringatan pada 12 Rabiul Awal 1446 Hijriah yang jatuh pada 16 September 2024. Selama satu bulan ini, masyarakat Cirebon akan sibuk mempersiapkan “berkat” terbaiknya sebagai wujud sedekah di bulan Mulud. Mayoritas masyarakat Cirebon akan memberikan sedekah terbaiknya ke masjid atau musolah terekat untuk dibagikan kembali pada masyarakat yang dibutuhkan.
Selain itu, masih banyak lagi tradisi muludan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Cirebon. Salah satu yang paling populer adalah tradisi panjang jimat atau pencucian keris dan benda pusaka di Keraton Kasepuhan. Kali ini, Hiace Transport akan mengupas lengkap beberapa tradisi muludan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Cirebon.
Tradisi Muludan di Lingkungan Keraton
1. Panjang Jimat
Tradisi panjang jimat adalah sebuah simbolisasi dari proses kelahiran Nabi Muhammad SAW yang berlangsung pada tanggal 12 Rabiul Awal. Penyelenggaraan tradisi panjang jimat ini diselenggarakan di tiga keraton besar Cirebon, yakni Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Selain panjang jimat, tradisi ini juga dikenal sebagai “pelal ageng” atau malam keutamaan oleh masyarakat setempat.
Terminologi “panjang jimat” memiliki berbagai interpretasi. Dalam satu penafsiran, “panjang” mengacu pada sebuah piring warisan berbentuk bundar besar yang diberikan oleh pertapa suci Sanghyang Bango dari Gunung Singkup. Sedangkan “jimat” diartikan sebagai artefak warisan dengan nilai sejarah yang perlu dipelihara.
Interpretasi lain mendefinisikan “panjang” sebagai sesuatu yang kontinu dan tak terputus, sementara “jimat” dapat diartikan sebagai ‘siji kang dirumat’ (sesuatu yang dipelihara) atau bisa juga merujuk ke nasi jimat. Meski memiliki banyak makna, konsep panjang jimat secara umum bertujuan untuk mengingatkan umat Islam agar tetap memegang teguh ajaran agama mereka.
2. Siraman Panjang
Setiap tahunnya, Keraton Kasepuhan menjalankan ritual siraman panjang, yaitu proses pencucian pusaka yang berlangsung setiap tanggal 5 Maulud. Pusaka yang dicuci adalah perabotan keramik berkaligrafi, meliputi 9 piring tapsi, 40 piring pengiring, serta dua guci dan dua gelas. Pusaka-pusaka ini telah ada selama ratusan tahun dan hanya dikeluarkan sekali setahun untuk acara khusus yaitu tradisi panjang jimat – acara utama dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Piring keramik ini merupakan peninggalan dari Sunan Gunung Jati dan digunakan oleh Wali Sanga saat mereka berkumpul.
Ritual ini diawali dengan beberapa orang berpakaian adat yang membawa pusaka tersebut yang dibungkus dengan kain putih. Saat mencuci perabotan itu, mereka membaca shalawat dan doa. Air bekas siraman menjadi incaran warga karena dipercaya dapat memberikan berkah. Setelah pencucian selesai, keluarga Keraton Kasepuhan melanjutkan dengan tradisi buka bekasem (proses fermentasi ikan khusus untuk merayakan Maulid). Ikan segar seperti kakap, tongkol, tenggiri dan ikan laut besar dibersihkan, dipotong kecil-kecil lalu dicampur garam, gula merah dan rempah-rempah halus.
Ikan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam gentong untuk difermentasi selama sebulan di kamar jimat Keraton. Ketika tiba waktu buka bekasem, ikan dibersihkan lagi lalu dijemur di atas jerami sebelum akhirnya digoreng untuk disajikan dalam nasi jimat pada acara panjang jimat. Tradisi ini menggambarkan bahwa para wali biasanya memilih makan ikan daripada daging; sesuai dengan Cirebon sebagai wilayah pesisir yang memiliki banyak hasil laut.
3. Nyiram Gong Sekaton
Keraton Kanoman juga merayakan Maulid Nabi dengan tradisi unik yang dikenal sebagai nyiram gong sekaten atau pencucian gamelan sekaten. Ritual ini tidak hanya bertujuan untuk membersihkan gamelan yang berusia ratusan tahun, tetapi juga sebagai medium untuk mendapatkan berkah. Warga berusaha mendapatkan air bekas cucian gamelan tersebut dengan harapan dapat membawa kesehatan dan hasil panen yang melimpah.
Tradisi ini dimulai ketika Sultan Trenggono, Raja Demak Bintoro III, memberikan gamelan sekaten kepada Ratu Wulung Ayu pada tahun 1520. Ratu Wulung Ayu adalah putri dari Sunan Gunung Jati dan Nyimas Tepasari dari Majapahit. Gamelan itu diberikan sebagai hadiah untuk Sang Ratu setelah meninggalnya suaminya, Adipati Unus atau Raja Demak Bintoro II.
Setelah itu, Sang Ratu memainkan gamelan setiap bulan Maulud. Selain menjadi hiburan, alunan musik dan lagu dari gamelan juga dijadikan sarana dakwah. Saat itu “tiket” untuk menyaksikan pertunjukan gamelan sekaten adalah syahadat. Kata ‘sekaten’ sendiri berasal dari kata ‘syahadatain’ atau bersyahadat. Meski demikian, orang-orang yang belum memeluk Islam masih bisa menikmati pertunjukan gamelan sekaten secara sukarela.
‘Sekaten’ juga memiliki arti ‘sekati’ atau sesuka hati – menunjukkan kerelaan hati dalam membunyikan gamelan dan keikhlasan dalam berbagi rezeki saat perayaan Maulid antara tanggal 7 hingga 12. Sehingga tak heran jika warga sering memberikan uang kepada para pemain musik (nayaga).
4. Nasi Jimat
Sebagai bagian dari perayaan Maulid, Keraton Kasepuhan mengadakan ritual pembuatan nasi jimat di Dapur Mulud, yang hanya dibuka sekali setahun. Ritual ini dimulai dengan doa oleh pengurus Dewan Kemakmuran Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan dilanjutkan dengan proses memasak oleh para wanita yang telah berwudu sebagai tanda kesucian.
Nasi jimat dibuat dari beras yang dimasak dengan minyak kletik atau minyak kelapa. Setelah beras mekar, minyak dipisahkan dan nasi disiram dengan air santan dari 40 butir kelapa. Berbagai rempah-rempah dicampurkan ke dalam santan dan nasi tersebut lalu ditutup menggunakan daun pisang dan dimasak hingga matang.
Mereka juga membuat nasi kebuli dan lauk-pauk seperti tempe, telur, daging ayam kampung dan ikan bekasem yang kemudian dicampur dalam tujuh tenong (wadah). Dua tenong pertama diserahkan kepada sultan sedangkan tiga tenong berikutnya untuk kerabat sultan. Sisa tenong diberikan kepada penghulu dan kepala kaum masjid serta warga setempat juga berharap mendapatkannya.
5. Tawurji dan Ngapem
Ritual tawurji dan ngapem merupakan bagian dari tradisi muludan yang dilakukan pada Rabu terakhir bulan Safar. Tawurji, yang berasal dari kata ‘tawur’ atau menabur koin dan ‘aji’ yang artinya orang mampu atau tuan haji. Istilah ini mengacu pada ritual bersedekah dimana keluarga keraton menaburkan koin (sawer) untuk dikumpulkan oleh warga.
Tawurji ini diadakan sebagai bagian dari rangkaian tradisi Rebo Wekasan, yaitu acara yang dilakukan pada Rabu terakhir bulan Safar atau menjelang perayaan Maulud Nabi. Dalam rangkaian acara tersebut juga dilakukan tradisi ngapem. Ngapem adalah ritual pembuatan dan pembagian apem – sebuah kue berbahan tepung beras dan ragi – kepada warga sekitar keraton sebagai bentuk penolak bala. Warna putih apem melambangkan perilaku suci.
6. Pasar Muludan
Setelah vakum selama empat tahun Pasar Rakyat Muludan di Alun-alun Sangkala Buana, Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon akhirnya kembali dibuka. Pasar ini merupakan bagian dari rangkaian acara tahunan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Tahun ini, Pasar Muludan berlangsung dari 16 Agustus hingga 16 September 2024, setelah sebelumnya terhenti akibat pandemi COVID-19 dan proses revitalisasi Alun-alun Sangkala Buana.
Pangeran Raja Muhammad Nusantara, perwakilan Keluarga Keraton Kasepuhan, menjelaskan bahwa Pasar Rakyat Muludan adalah bagian dari tradisi Grebeg Maulud, peringatan Maulid Nabi SAW di Keraton Kasepuhan Cirebon. Pangeran Nusantara menambahkan, Pasar Muludan tahun ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan penyelenggaraan sebelumnya, terutama dalam hal tata letak Alun-alun Sangkala Buana yang sudah direvitalisasi.
Perbedaan mencolok lainnya pada Pasar Muludan tahun ini adalah jenis wahana permainan yang disajikan. Beberapa permainan tidak dihadirkan untuk menjaga agar Alun-alun Sangkala Buana tetap terjaga dari kerusakan. Pangeran Nusantara berharap, dengan kembalinya Pasar Muludan, tradisi ini dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi masyarakat, serta membantu melestarikan kebudayaan Cirebon yang telah berlangsung turun-temurun.
Nabi Muhammad SAW adalah sosok teladan bagi masyarakat muslim di Indonesia. Cirebon sebagai salah satu kota yang sebagian besarnya beragama Islam juga memiliki cara tersendiri untuk memperingati Maulid Nabi. Tradisi Muludan di tengah masyarakat Cirebon telah berlangsung selama ratusan tahun, dan masih terus dijaga hingga saat ini. Untuk masyarakat Muslim di Cirebon, tradisi ini menjadi sarana untuk memurnikan diri, berbagi dengan sesama, dan mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW.
Eksplorasi Cirebon dengan Sewa di Hiace Transport
Nikmati eksplorasi budaya yang kaya di Cirebon dengan kenyamanan dan kemudahan dari Hiace Transport. Kami menyediakan berbagai jenis kendaraan, mulai dari Hiace Commuter, Hiace Premio, hingga Hiace Luxury. Tidak hanya itu, untuk rombongan skala besar, kami juga memiliki armada Elf long, medium bus, dan big bus. Semua kendaraan kami dirawat dengan baik dan dilengkapi dengan fasilitas modern untuk memastikan perjalanan Anda nyaman dan menyenangkan. Jadi tunggu apa lagi? Sewa kendaraan dari Hiace Transport sekarang juga dan mulailah petualangan budaya Anda di Cirebon dengan City Tour!
Informasi
- WhatsApp : 0811-2156-666
- Instagram : @hiacetransport
- Facebook : Hiacetransport
- Email : hiacetransport@gmail.com